Pusat Pendidikan Buddha: Peran Sriwijaya sebagai Kiblat Ilmu Pengetahuan

Pusat Pendidikan Buddha: Peran Sriwijaya sebagai Kiblat Ilmu Pengetahuan – Bayangkan pada abad ke-7 Masehi, di tepian sungai Musi yang luas dan berkilau, berdiri sebuah kerajaan maritim yang tak hanya ramai oleh kapal dagang dari India, Arab, dan Tiongkok, tetapi juga oleh para biksu dan pelajar dari berbagai penjuru Asia. Mereka datang bukan untuk berdagang emas atau rempah, melainkan untuk menimba ilmu.
Kerajaan itu adalah Sriwijaya, permata Sumatra yang menjelma menjadi pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Asia Tenggara.

Di masa kejayaannya, Sriwijaya bukan sekadar pelabuhan sibuk yang menghubungkan jalur perdagangan internasional, melainkan juga menjadi mercusuar ilmu pengetahuan. Dari vihara-vihara megah di Palembang kuno, gema doa dan diskusi filsafat terdengar setiap pagi. Para pelajar belajar membaca teks-teks suci, menyalin naskah Sanskerta di atas daun lontar, dan mendiskusikan ajaran Buddha di bawah bimbingan guru besar.

Salah satu bukti paling kuat tentang reputasi Sriwijaya sebagai pusat pendidikan datang dari catatan seorang biksu Tiongkok bernama I-Tsing (Yijing). Dalam perjalanannya menuju India pada tahun 671 M, ia singgah di Sriwijaya dan menetap selama beberapa tahun. Ia menulis bahwa di negeri ini, ratusan biksu mempelajari ajaran Buddha dengan tekun dan disiplin tinggi.
I-Tsing bahkan menasihati para calon pelajar dari Tiongkok untuk belajar terlebih dahulu di Sriwijaya sebelum melanjutkan ke Nalanda di India, karena pendidikan di sini “setara dengan universitas besar di India”.

Bayangkan: pada masa ketika sebagian besar dunia masih hidup dalam sistem kerajaan feodal, Sriwijaya sudah memiliki sistem pendidikan terstruktur, berorientasi internasional, dan mengajarkan bahasa global kuno — Sanskrta — kepada para pelajarnya.

Kehidupan Akademik dan Tradisi Intelektual di Sriwijaya

Vihara atau biara di Sriwijaya berfungsi layaknya universitas kuno. Di sinilah para pelajar belajar teks-teks suci seperti Tripitaka, logika Buddhis, tata bahasa, astronomi, hingga ilmu pengobatan. Tak sedikit biksu yang berasal dari India atau Tiongkok tinggal bertahun-tahun di sini demi memperdalam pemahaman mereka tentang ajaran Dharma.

Para biksu Sriwijaya dikenal disiplin. Pagi hari mereka bermeditasi, siang digunakan untuk mempelajari naskah, dan malam hari berdiskusi tentang makna filosofi kehidupan. Setiap perdebatan dianggap sebagai cara untuk memperdalam pemahaman, bukan untuk menunjukkan kehebatan diri.

Sistem pendidikan di Sriwijaya sangat terorganisir. Pelajar baru biasanya harus menguasai bahasa Sanskerta terlebih dahulu, kemudian mempelajari teks dasar Buddhis. Setelah itu, mereka bisa memilih bidang studi lanjutan seperti logika, filsafat, atau linguistik. Model ini mirip dengan sistem universitas modern — lengkap dengan jenjang belajar yang menuntut dedikasi tinggi.

Tak hanya itu, para pelajar juga dilatih untuk menyalin dan menerjemahkan teks-teks suci ke dalam berbagai bahasa. Aktivitas ini menjadikan Sriwijaya pusat penting dalam penyebaran naskah Buddhis ke seluruh Asia. Naskah-naskah dari Sriwijaya bahkan banyak ditemukan di perpustakaan biara di Tiongkok dan Tibet.

Raja-raja Sriwijaya pun berperan besar dalam mendukung kegiatan keilmuan. Mereka tidak hanya pelindung agama, tetapi juga pelindung pengetahuan. Banyak sumber sejarah menyebut bahwa para penguasa mendanai pembangunan vihara, menyediakan makanan bagi biksu, dan bahkan mengirim utusan ke India untuk menjalin kerja sama pendidikan dengan universitas Buddhis seperti Nalanda dan Vikramashila.

Dengan dukungan kerajaan dan semangat keilmuan yang menyala, Sriwijaya berkembang menjadi pusat spiritual dan intelektual yang memadukan ilmu, agama, dan diplomasi.

Jaringan Internasional dan Warisan yang Tak Pudar

Peran Sriwijaya dalam dunia pendidikan tak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai simpul jalur pelayaran internasional. Setiap kapal yang berlabuh di pelabuhan Sriwijaya membawa pedagang, ziarah, dan pelajar dari berbagai negeri. Akibatnya, terjadi pertukaran ide, teks, dan budaya yang memperkaya kehidupan intelektual kerajaan ini.

Biksu-biksu dari Tiongkok, seperti I-Tsing, datang untuk belajar dan menyalin naskah. Sebaliknya, biksu dari Sriwijaya juga berangkat ke India untuk mendalami ilmu di Nalanda, lalu kembali membawa pengetahuan baru. Mereka menjadi jembatan antara dua dunia — Timur dan Selatan — menyatukan ajaran Buddha dalam bentuk yang lebih universal.

Hubungan Sriwijaya dengan India begitu erat hingga beberapa raja Sriwijaya mendirikan asrama khusus bagi pelajar asal Sriwijaya di universitas Nalanda. Ini menunjukkan betapa seriusnya kerajaan ini dalam mendukung pendidikan lintas negara, sesuatu yang bahkan jarang dilakukan oleh kerajaan lain pada masa itu.

Jejak keilmuan Sriwijaya juga bisa ditemukan dalam artefak dan prasasti kuno.

  • Prasasti Talang Tuwo (684 M) menunjukkan perhatian besar terhadap kesejahteraan rakyat dan pendidikan spiritual.
  • Prasasti Kedukan Bukit menandakan pentingnya ekspedisi pengetahuan dan ekspansi budaya.
  • Sementara Candi Muara Takus di Riau diyakini sebagai salah satu pusat kegiatan Buddhis dan pendidikan di masa Sriwijaya.

Semua peninggalan ini menegaskan bahwa kerajaan ini memiliki budaya literasi yang tinggi. Mereka tidak hanya menulis untuk mencatat peristiwa, tetapi juga untuk mengabadikan gagasan dan ajaran.

Pengaruh Sriwijaya bahkan terasa hingga ke wilayah seperti Thailand, Kamboja, dan Burma. Banyak ajaran Buddhis di Asia Tenggara yang berkembang berakar dari tradisi intelektual Sriwijaya, terutama cabang Buddha Mahayana dan Vajrayana.

Saat kekuasaan Sriwijaya mulai memudar pada abad ke-13 karena serangan dari kerajaan Chola di India Selatan dan bangkitnya kekuatan baru di Jawa, warisan intelektualnya tetap hidup. Nilai-nilai toleransi, semangat belajar, dan penghargaan terhadap pengetahuan diwariskan kepada generasi berikutnya, memengaruhi kebudayaan kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit.

Semangat Sriwijaya dalam Dunia Modern

Jika kita menilik sejarah, Sriwijaya bukan sekadar kerajaan besar dengan kekuatan maritim yang luas. Ia adalah simbol kejayaan intelektual Nusantara, bukti bahwa bangsa Indonesia memiliki akar panjang dalam tradisi berpikir dan belajar.

Konsep pendidikan terbuka dan lintas budaya yang dikembangkan Sriwijaya sejalan dengan nilai-nilai pendidikan modern saat ini: pertukaran pelajar, riset kolaboratif, dan pembelajaran seumur hidup. Bahkan, konsep “universitas internasional” yang kita kenal sekarang sudah pernah hidup di tepian Sungai Musi berabad-abad yang lalu.

Warisan itu masih terasa dalam semangat masyarakat Palembang dan Sumatra Selatan yang terus melestarikan nilai-nilai sejarahnya. Situs-situs peninggalan Sriwijaya kini menjadi objek penelitian dan wisata edukatif yang menarik, sekaligus pengingat bahwa dari tanah inilah pernah lahir peradaban yang menempatkan ilmu dan spiritualitas di puncak kejayaan.

Menghidupkan kembali semangat Sriwijaya bukan berarti sekadar membanggakan masa lalu, melainkan mengambil inspirasi darinya. Di tengah dunia yang serba cepat dan materialistis, semangat Sriwijaya mengajarkan bahwa pengetahuan adalah bentuk kekayaan tertinggi — kekayaan yang melampaui waktu dan kekuasaan.

Kesimpulan

Sriwijaya bukan hanya kerajaan besar yang berjaya di lautan, tetapi juga pusat pencerahan yang menerangi dunia Timur. Sebagai pusat pendidikan Buddha, Sriwijaya mengajarkan pentingnya keseimbangan antara ilmu dan kebijaksanaan, antara kekuasaan dan kemanusiaan.

Melalui sistem pendidikan yang maju, hubungan internasional yang luas, dan semangat keterbukaan terhadap pengetahuan, Sriwijaya menjadi contoh bagaimana sebuah peradaban bisa berkembang pesat tanpa kehilangan akar spiritualnya.

Hari ini, ketika kita berbicara tentang kemajuan pendidikan di Indonesia, semangat Sriwijaya seharusnya menjadi inspirasi: bahwa bangsa ini pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Di tepian Sungai Musi, berabad-abad lalu, sudah tumbuh benih universitas Nusantara — tempat di mana ilmu, budaya, dan iman berjalan beriringan.

Sriwijaya mengajarkan satu hal yang tak lekang oleh waktu: kebesaran sejati sebuah bangsa terletak pada ilmunya, bukan semata pada kekuasaannya.

Scroll to Top